Selasa, 22 September 2015

Ibadah Haji sebagai Momentum Persatuan Umat

Ibadah Haji merupakan salah satu dari Lima Rukun Islam yang dilaksanakan setiap tahun di bulan ke-12 (biasa disebut sebagai Bulan Dzulhijjah, orang Jawa menyebut bulan ini dengan Sasi Besar) dalam penanggalan Hijriah. Ibadah satu ini tergolong istimewa karena pelaksanaannya hanya dianggap sah jika seorang Muslim sudah melakukan serangkaian ritual-ritual tertentu di Tanah Suci Mekkah. Ini jelas berbeda dengan Ibadah lainnya semisal Sholat maupun Puasa yang bisa dilakukan dimana saja tanpa adanya ketentuan tempat khusus.

Setiap tahunnya jutaan umat Muslim dari seluruh penjuru dunia dengan berbagai latar belakang, suku, etnik, ras, bangsa hingga sekte yang berbeda berbondong-bondong mendatangi kota Mekkah hanya untuk melakukan Ibadah Haji. Mereka seolah lupa dengan berbagai perbedaan yang melekat diantara mereka, dengan niat yang tulus Lillahi Ta'aala mereka hanya fokus beribadah melakukan segala ritual-ritual ibadah Haji mengharap bisa memperoleh ridha dari Allah SWT.

Ini seharusnya menjadi bahan renungan kita bersama, dimana orang Islam dari seluruh penjuru dunia datang dengan berbagaimacam kebhinekaan mereka dapat duduk damai dalam satu majelis peribadatan yang besar disana. Tidak peduli apakah orang tersebut seorang Syiah, Wahhabi, Ahmadiyah, Sunni, simpatisan ISIS, militan Taliban, Hamas, Fattah, Ikhwanul Muslimin, NU, Muhammadiyah, LDII bahkan MTA sekalipun. Disana semua orang adalah sama, sama-sama menggunakan pakaian yang sama, mengikuti ritual yang sama bahkan dalam shalat pun mereka sama-sama mengikuti satu imam yang sama hingga dalam satu shaf yang sama tanpa adanya konflik sekterian sebagaimana terjadi di luar Ibadah Haji. Mereka mampu menunjukkan bahwa Islam itu tetap satu esensi ditengah berbagai macam perbedaan didalamnya.

Muncul sebuah pertanyaan agak menggelitik di benak penulis, jika orang-orang di Tanah Suci yang berhaji saja bisa duduk damai tanpa konflik, lantas mengapa kita disini masih saja berkutat pada masalah Bid'ah dan tidak Bid'ah, sesat dan tidak sesat serta kafir dan tidak kafir?. Mengapa kita masih sibuk mengurusi perbedaan yang memang sudah di nas dalam sunatullah?. Bukankah mengurusi keislaman diri sendiri lebih utama dibanding mengurusi keislaman orang lain?. Toh, kita bukan Tuhan yang bisa menilai siapa yang benar siapa yang salah, siapa yang kafir siapa yang mukmin.

Jika sejenak kita bayangkan dan renungkan seandainya setiap hari adalah ibadah haji dan seluruh dunia ini adalah Mekkah maka alangkah indahnya dunia ini jika kita sesama orang Islam dapat duduk damai tanpa konflik sektarian yang selalu membesar-besarkan perbedaan dikalangan Islam. Mungkin tidak ada lagi kita mendengar konflik Timur-Tengah di Media-Media, mungkin juga kita tidak akan mendengar kasus diusirnya Syiah di Madura, dirobohkannya Masjid Ahmadiyah di Jawa Barat hingga perseturuan Pro Islam Nusantara vs Anti Islam Nusantara. Mungkin dunia akan memandang Islam sebagai agama yang kompak bukan sebagai agama teroris sebagaimana wajah Islam kini.

Sebenarnya belum terlambat bagi kita untuk bisa mengubah citra buruk Islam. Di momentum Idul Adha dan Ibadah Haji ini hendaknya menjadi saat bagi kita untuk saling bertoleransi dan menghargai perbedaan pendapat di kalangan sesama Muslim. Sejenak kita lupakan segala bentuk konflik berlandaskan perbedaan Aliran, Madzhab dan Sekte. Kita tunjukkan kepada dunia bahwa Islam adalah agama yang kompak ditengah berbagai macam perbedaan. Satu suara satu hati satu jiwa dan satu raga sebagai satu komunitas agama yang besar di dunia yang menebarkan rahmat dan cinta kasih kepada seluruh alam.

Ngaliyan, 22 September 2015