![]() |
Ilustrasi. Sumber gambar: Google |
Kita ambil contoh warteg yang berada di Semarang. Warteg Semarang pasti akan menyediakan menu khas Semarang seperti Nasi Rames, Tahu Bakso dan Bandeng Presto dengan tetap mempertahankan ciri khas warteg itu sendiri semisal meletakkan makanan-makanan di dalam etalase kaca dan lauk-lauk wajib warteg seperti kikil, tempe goreng dan orek..
Begitu pula warteg di Pati yang menyediakan nasi gandul dan soto kemiri dalam menu utamanya dengan tetap mempertahankan ciri khas kewartegannya. Hal yang sama ternyata diterapkan pengusaha warteg di seluruh Indonesia.
Harga yang murah dengan kuantitas nasi yang banyak dan rasa yang pas dengan selera masyarakat maka tidak mengherankan mengapa warteg jauh lebih disukai oleh masyarakat dibanding warung-warung sejenisnya. Kebebasan memilih lauk juga dipandang sebagai bentuk toleransi rasa yang diberikan warteg kepada setiap pelanggannya. Pelanggan diberi kebabasan untuk menentukan apa yang mereka akan makan.
Hal ini justru berkebalikan dengan Warung Bakso dan Mie Ayam yang 'fanatik' dalam berdagang. Mereka tidak pernah memperhatikan apa sesungguhnya yang dibutuhkan masyarakat. Warung Bakso dan Mie Ayam cenderung dengan memaksakan pelanggannya untuk makan menu-menu mereka tanpa diberi kesempatan untuk memilih. Sekalipun dapat memilih juga tidak akan jauh-jauh dari menu utama yakni bakso dan/atau mie ayam. Tidak ada toleransi rasa seperti yang kita temui di Warteg. Dimanapun mereka berada dan seperti apapun objek pelanggannya, Warung Bakso dan Mie Ayam tidak mempedulikan selera para pelanggan. Mereka tetap bersikukuh menjual bakso dan mie ayam tanpa memperhatikan kultur lokal pelanggannya.
Harga bakso dan mie ayam yang relatif mahal dengan porsi yang jauh lebih sedikit dibanding warteg menyebabkan tidak semua orang makan di warung bakso dan mie ayam setiap harinya. Hanya orang-orang yang butuh festival rasa dan hiburan kuliner dengan sedikit kelebihan uang yang makan di bakso dan mie ayam. Orang-orang dengan uang pas-pasan semisal pekerja buruh pabrik atau pegawai harian cenderung jarang makan siang di warung bakso dan mie ayam.
Itulah mengapa jika kita perhatikan lebih mendalam, Warteg ternyata jauh lebih diminati oleh masyarakat daripada Warung Bakso dan Mie ayam. Warteg yang dalam menjual produknya masih mempertahankan selera lokal yang kemudian 'dikawinkan' dengan adat kewartegan terbukti efektif dalam merebut pangsa pasar dibanding Warung Bakso dan Mie Ayam yang cenderung fanatik dan intoleran dalam menjual produk. #Muhtam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar