Sabtu, 29 Juli 2017

Membangun Pembelajaran Bahasa Arab yang Pancasilais

oleh: Muhammad Muhtam Amalana*)

Telah umum di antara kita bersama terutama di kalangan umat Islam bahwa Bahasa Arab adalah bahasa yang sakral. Berbeda dengan bahasa-bahasa lain, bagi Umat Islam Bahasa Arab adalah bahasa yang suci yang hanya diucapkan di saat-saat yang suci saja seperti beribadah, berdoa, membaca Al-Quran dan lain-lain serta haram diucapkan di tempat-tempat kotor semisal kamar mandi. Tulisan Arab pun tak lepas dari kesakralannya. Sering kita temui di sekitar kita ketika ada orang yang melihat tulisan Arab di kertas berserakan di lantai, secara spontan akan diambil dan diletakkan di 'tempat yang layak' meskipun tidak tahu apakah isi dari tulisan tersebut, bisa saja kertas tersebut berisi umpatan atau kata-kata kotor berbahasa Arab.
    Pola pikir yang demikian lantas berdampak pada konsep pembelajaran Bahasa Arab di sekolah-sekolah dan madrasah-madrasah di Indonesia. Bahasa Arab kemudian tidak bisa dilepaskan dari nilai-nilai keagamaan terutama Agama Islam mengingat agama Islam memang diturunkan di Arab dengan berbagai 'perangkat pendukungnya' yang berbahasa Arab. Hal ini kemudian menimbulkan satu masalah baru dimana seolah-olah bahasa Arab adalah Hak Milik Eksklusif umat Islam (terutama di Indonesia) saja. Umat-umat agama lain kemudian dicap tidak pantas dan tidak layak untuk mempelajari apalagi menguasai bahasa Arab.

    Hal ini tentu bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945 yang menyatakan bahwa seluruh bangsa Indonesia tanpa melihat latar belakang Suku, Ras, Agama dan Golongannya memperoleh hak pendidikan tanpa adanya perbedaan. Dalam artian, mereka berhak mempelajari apa saja (termasuk Bahasa Arab) tanpa melihat latar belakang mereka. Pembelajaran bahasa Arab di sekolah-sekolah dan madrasah-madrasah masih menggunakan teks-teks keagamaan seperti al-Quran, Hadis, dan teks-teks bacaan agama Islam.

    Kita mungkin sebagai umat Islam tentu tidak masalah dengan hal ini, dan justru malah bersyukur karena sambil berenang minum air. Sambil belajar bahasa Arab juga belajar Agama . Tapi bagaimana dengan non-Muslim yang ingin mempelajari bahasa Arab? Apakah mereka juga harus 'diperkosa' untuk mempelajari Islam juga? Atau mendoktrin mereka untuk menjadi Muallaf dengan Bahasa Arab sebagai media Dakwah?. Tentu tidak, Bahasa Arab sebagaimana bahasa-bahasa lain yang bukan hak milik satu golongan Agama saja. Bahasa Arab adalah milik orang Arab entah itu beragama Islam, Kristen, Yahudi atau Zoroaster. Begitu pula Bahasa Ibrani yang milik bangsa Yahudi entah bangsa Yahudi yang beragama Judaisme, Kristen atau Islam.

    Di beberapa SMA umum yang menyertakan mapel bahasa Arab di dalam kurikulumnya masih banyak yang menggunakan pola pikir Bahasa Arab sebagai Bahasa umat Islam. Tak jarang, siswa non-Muslim pun dicekoki dengan materi-materi Agama Islam berbalutkan Bahasa Arab. Ini jelas tidak adil bagi mereka. Kita bayangkan saja jika kita berada dalam posisi mereka, ketika kita ingin mempelajari bahasa Ibrani atau Yunani yang notabene bahasa 'suci'-nya orang Yahudi dan Kristen, dan ketika kita ingin mempelajarinya kita justru dicekoki dengan materi-materi Yahudi dan Kristen. Kita tentu akan merasa sangat tidak nyaman dengan hal tersebut. Bukankah akan lebih enak dan nyaman jika dalam pembelajaran bahasa Ibrani atau Yunani tersebut tidak ada embel-embel agama Yahudi dan Kristen? Jika kita balik lagi pertanyaannya, bukankah juga akan lebih enak dan nyaman jika pembelajaran bahasa Arab tidak terdapat embel-embel agama Islam?

    Agar tidak terjadi kesalahpahaman dan fitnah perlu kita bedakan terlebih dahulu bahasa Arab berdasarkan fungsinya. Setidaknya terdapat 2 (dua) fungsi bahasa Arab yang populer. Fungsi yang pertama adalah sebagai Bahasa Agama dan fungsi yang Kedua adalah sebagai Bahasa itu sendiri.

    Fungsi Pertama jelas, bahwa Bahasa Arab adalah bahasa keagamaan. Tidak akan sah solat seorang Muslim jika tidak menggunakan bahasa Arab. Tidak akan afdhol seorang Muslim berdoa jika tidak menggunakan bahasa Arab. Proses mempelajarinya pun HARUS dan TIDAK AKAN DAPAT DIPISAHKAN dengan hal-hal berbau agama Islam. Bahkan dalam Syarah Alfiyah Ibnu Malik dijelaskan bahwa tujuan (umat Islam) mempelajari bahasa Arab adalah untuk memahami al-Quran dan Hadis serta kitab-kitab agama Islam lainnya. Seorang Muslim tidak akan mampu memahami Al-Quran dan Hadis dengan baik dan benar hanya menggunakan terjemahan saja. Setidaknya diperlukan beberapa 'Ilmu Alat' seperti Nahwu, Sharaf, Balaghah, Mantiq dan lain-lain hingga dapat dikatakan paham dan menguasai Al-Quran dan Hadis.

    Fungsi Kedua ini yang perlu kita cermati bersama, yaitu bahasa Arab sebagai bahasa itu sendiri. Sebagaimana bahasa-bahasa lain, -telah saya jelaskan sebelumnya- bahasa Arab bukanlah hak milik eksklusif orang Islam saja, melainkan milik bangsa Arab yang dapat dipelajari siapa saja tanpa terkecuali. Bahasa Arab boleh dipelajari oleh orang beretnis Jawa, Batak, Papua bahkan Tionghoa. Sebagaimana Bahasa Inggris yang boleh dipelajari oleh orang-orang di seluruh dunia. Bahasa Arab adalah sarana komunikasi yang digunakan oleh orang-orang dari berbagai macam suku dan agam yang tinggal di daerah Timur Tengah. Tentu dalam fungsi yang kedua ini agama sudah jauh terlepas dari bahasa Arab itu sendiri. Maka akan aneh tentunya jika ada orang yang ingin belajar bahasa Arab karena ingin bekerja/berdagang di Arab tetapi harus dicekoki materi-materi agama.

    Terlebih di era saat ini, masih hangat di ingatan kita beberapa waktu yang lalu ketika Raja Arab Saudi Salman bin Abdul Aziz melawat ke Indonesia dengan membawa segebog uang untuk diinvestasikan di Indonesia. Ini merupakan angin segar bagi dunia bisnis karena pasar bisnis kita tidak hanya di negara-negara Asia dan Eropa saja, tetapi Timur Tengah bak oase di gurun pasir bagi perekonomian bangsa. Degan kunjungan Raja Salman, secara tidak langsung juga memberikan kode bahwa Indonesia telah diperhitungkan di Timur Tengah sebagai suatu kekuatan ekonomi yang baru. Hal ini tentu akan dapat kita maksimalkan jika kemampuan Sumber Daya Manusia (SDM) kita memenuhi standar yang salah satunya adalah standar kemampuan berbahasa Arab.

    Jika kita masih saja terpaku menggunakan pola pikir bahasa Arab sebagai milik umat Islam saja, bagaimana mungkin kita bisa memaksimalkan yang kita miliki untuk dijual ke Arab? Bagaimana mungkin kita bisa menguasai pasar Arab kalau hanya umat Islam saja yang berdagang di sana? Tentu semuanya dimulai dari pembelajaran Bahasa Arab yang Pancasilais. Yaitu pembelajaran Bahasa Arab yang TIDAK HANYA berisi materi-materi keagamaan saja tetapi pembelajaran yang efektif dan to the point menurut fungsi dari Bahasa Arab itu sendiri. Kita perlu berharap kepada para pemangku kepentingan untuk juga menyesuaikan Bahasa Arab dari fungsinya, agar Pembelajaran Bahasa Arab tidak hanya nyaman bagi umat Islam saja, tetapi juga bagi umat-umat agama yang lain tanpa terkecuali.

*) Penulis merupakan
-Mahasiswa Semester 5 jurusan Pendidikan Bahasa Arab UIN Walisongo Semarang
-Ketua Umum UKM Lembaga Studi Bahasa Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Walisongo Semarang
-Koordinator Table Arab Polyglot Indonesia Semarang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar