Kelas PBA A 2015 - UIN Walisongo Semarang
I.
Definisi Fiqih dan Ilmu Fiqih
a.
Fiqih
Fiqih
berasal dari kata فقه-يفقه-فقها yang berarti memahami. Secara istilah kata fiqih berarti ilmu
yang mempelajari hukum-hukum islam dengan jalan atau ijtihad.
Sementara
menurut Hasbi fiqih diartikan suatu ilmu yang mempelajari syariah yang bersifat
amaliah yang diperoleh dari dalil-dalil hukum yang terperinci dari sumber
hukum.
b.
Ilmu Fiqih
Ilmu
fiqih menurut istilah syar’i yaitu ilmu dengan hukum-hukum syar’i amaliah yang
dipraktekan dan dikemukakan secara mendetail atau himpunan hukum syar’i amaliah
diuraikan secara terperinci.
Ushul
fikih menurut istilah syari’at ialah ilmu, peraturan-peraturan dan
pembahasan-pembahasan yag mana dengan itulah orang sampai mempergunakan
hukum-hukum syar’i amaliah (yang bersangkut dengan amal perbuatan) yang
menunjukkan secara terperinci atau himpunan undang-undang dan pembahasan yang
menyampaikan orang untuk mempergunakan hukum-hukum syari’at amaliah yang
menunjukkannya secara terperici.
II.
Definisi Hukum
Hukum syara’ menurut ulama ushul ialah doktrin (kitab) syari’ yang
bersangkutan dengan perbuatan orang-orang mukallaf yang bersangkutan dengan
perbuatan orang-orang mukallaf secara perintah atau diperintahkan memilih atau
berupa ketetapan (taqrir). Sedangkan menurut ulama fiqh hukum syara ialah efek
yang dikehendaki oleh kitab syari’ dalam perbuatan seperti wajib, haram dan
mubah .
Secara ringkas, hukum Islam adalah syariat yang
berarti hukum-hukum yang diadakan oleh Allah untuk umat-Nya yang dibawa oleh
seorang Nabi, baik hukum yang berhubungan dengan kepercayaan (aqidah) maupun
hukum-hukum yang berhubungan dengan amaliyah (perbuatan).
III.
Sumber hukum dalam Islam
a.
Al-Quran
ü
Definisi
Kata
Alquran dalam bahasa Arab berasal dari kata / Qara'a artinya ' membaca,
sedangkan bentuk masdharnya qur’anan yang artinya bacaan.
Sedangkan
menurut istilah Alqur’an merupakan kalam Allah yang diturunkan kepada nabi
Muhammad melalui malaikat Jibil secara mutawatir dan pahala bagi orang yang
membaca Al- qur’an.
ü
Hukum
dalam Al- qur’an:
1. Hukum-hukum I'tiqadiyyah, yaitu hukum yang berhubungan dengan keimanan kepada Allah swt,
kepada Malaikat, kepada Kitab-kitab, para Rasul Allah dan kepada hari
akhirat.
2. Hukum-hukum Khuluqiyyah, yaitu hukum yang berhubungan dengan akhlak. manusia wajib
berakhlak yang baik dan menjauhi prilaku yang buruk.
3. Hukum-hukum Amaliyah, yaitu hukum
yang berhubungan dengan perbuatan manusia. Hukum amaliyah ini ada dua; Mengenai
Ibadah dan Mengenai muamalah dalam arti yang luas.
ü
Kehujjahan
Al-Quran
Alqur'an
merupakan sumber utama hukum Islam yang diturunkan Allah dan wajib
dilaksanakan. Seorang mujtahid tidak dibenarkan menjadikan dalil lain sebagai
hujjah sebelum membahas dan meneliti ayat-ayat Alqur'an. Apabila hukum
permasalahan yang ia cari tidak ditemukan dalam Alqur'an, maka barulah mujtahid
tersebut mempergunakan dalil lain
Alqur'an
Dalil Qath'i dan Zhanni Alqur'an yang diturunkan secara mutawatir, dari segi
turunnya berkualitas qath'i (pasti benar) akan tetapi, hukum-hukum yang
dikandung Alqur'an ada kalanya bersifat qath'i dan ada kalanya bersifat dzanni
(relatif benar). Ayat yang bersifat qath'i adalah lafal-lafal yang mengandung
pengertian tunggal dan tidak bisa dipamahi makna lain darinya. Ayat-ayat
seperti ini, misalnya ; ayat-ayat waris, hudud , kaffarat.
Alqur'an
Dalil Kully dan Juz'i Alqur'an sebagai sumber utama hukum Islam menjelaskan
hukum-hukum yang terkandung di dalamnya dengan cara :
1.
Penjelasan
rinci (juz’i) terhadap sebagian hukum-hukum yang dikandungnya, seperti yang
berkaitan dengan masalah aqidah, hukum waris, hukum-hukum yang terkait dengan
masalah pidana, hudud, dan kaffarat.
2.
Penjelasan
Alqur'an terhadap sebagian besar hukum-hukum itu, bersifat global / kully,
umum, dan muthlaq, seperti dalam masalah shalat yang tidak dirinci berapa kali
sehari dikerjakan, berapa ra'kaat untuk satu kali shalat, apa hukum dan
syaratnya.
b.
Hadis
ü Definisi
Hadits yaitu apa yang diriwayatkan dari Nabi Muhammad , baik berupa
perkataan, perbuatan, ketetapannya (Arab: taqrîr), sifat jasmani atau sifat
akhlak, perjalanan setelah diangkat sebagai Nabi (Arab: bi'tsah) dan terkadang
juga sebelumnya, sehingga arti hadits di sini semakna dengan sunnah.
ü Bagian-Bagian Hadis
Ø Sanad :Persambungan pembawa dengan penerima hadis
Ø Matan : Isi hadis
Ø Rawi : Pembawa hadis atau sanad terakhir
ü Macam-Macam Sunnah
Ø Bentuk: Qauliyah, Fi’liyah, Taqririyah
Ø Jumlah perawi: mutawatir, mashur, ahad
Ø Kualitas: shahih, hasan,
dhaif, maudhu’
Ø Diterima/tidaknya: maqbul, mardhud
Ø Orang yang berperan: marfu’, mauquf, maqthu’
Ø Dll: man’an, munqathi
ü Fungsi Sunnah terhadap Al-Quran
Hadis
berfungsi sebagai sumber kedua (ta’kid), bayan seperti memerinci, menghususkan
dan membatasi serta fungsi terakhir yaitu menetapkan hukum.
c.
Ijtihad
ü Definisi
Ijtihad (Arab: iاجتهاد) adalah sebuah usaha yang sungguh-sungguh, yang sebenarnya bisa
dilaksanakan oleh siapa saja yang sudah berusaha mencari ilmu untuk memutuskan
suatu perkara yang tidak dibahas dalam Al Quran maupun hadis dengan syarat
menggunakan akal sehat dan pertimbangan matang.
ü Objek Ijtihad
Menurut
Imam Ghazali, objek ijtihad adalah setiap hukum syara’ yang tidak memiliki
dalil yang qoth’i. Dengan demikian, syariat Islam dalam kaitannya dengan
ijtihad terbagi dalam dua bagian.
ü Syarat Mujtahid
1.
Menguasai
bahasa Arab dengan baik
2.
Menguasai
Alquran dan Hadis
3.
Mengetahui
masalah yang diijtihadkan
4.
Menguasai
ilmu fiqih
5.
Menguasai
maqashidus syar’iah
6.
Mengetahui
asbabun nuzul dan asbabul wurud
7.
Mengetahui
IPTEK
ü Cara Ijtihad
i.
Ijma’
Ijma’ atau
konsesus adalah kesepakatan para ulama dalam menetapkan suatu hukum hukum dalam
agama berdasarkan Al-Qur'an dan Hadits dalam suatu perkara yang terjadi.
Ijma terdiri
beberapa unsur:
1. Adanya kesepakatan seluruh mujtahid dari kalangan umat Islam
(ulama).
2. Suatu kesepakatan yang dilakukan haruslah dinyatakan secara
jelas.
3. Yang melakukan kesepakatan tersebut adalah mujtahid.
4. Kesepakatan tersebut terjadi setelah wafatnya Rasulullah.
5. Yang disepakati itu adalah hukum syara' mengenai suatu masalah
atau peristiwa hukum tertentu.
Ijma' umat
terbagi menjadi dua:
1. Ijma' Qauli, yaitu
suatu ijma' di mana para ulama' mengeluarkan pendapatnya dengan lisan ataupun
tulisan yang menerangkan persetujuannya atas pendapat mujtahid lain di masanya.
2. Ijma' Sukuti, yaitu suatu ijma' di mana para ulama' diam,
tidak mengatakan pendapatnya. Diam di sini dianggap menyetujui. Menurut Imam
Hanafi kedua macam ijma' tersebut adalah ijma' yang sebenarnya. Menurut Imam
Syafi'i hanya ijma' yang pertama saja yang disebut ijma' yang sebenarnya.
ii.
Qiyas
ü Definisi
Pengertian
Qiyas menurut para ulama ushul fiqh ialah menetapkan hukum suatu kejadian
atau peristiwa yang tidak ada dasar nashnya dengan cara membandingkannya kepada
suatu kejadian atau peristiwa yang lain yang telah ditetapkan hukumnya
berdasarkan nash karena ada persamaan ‘illat antara kedua kejadian atau
peristiwa itu.
ü Rukun Qiyas
Ø Asal/Pokok
Ø Far’u atau cabang
Ø Hukum Asal
Ø Ilat
Ø Hukum Cabang
ü Macam-Macam Qiyas
Ø Qiyas aula adalah illat hukum yang diberikan pada ashl lebih kuat
diberikan pada furu. Contoh memukul orang tua diqiyaskan dengan menyakiti hati
orang tua
Ø Qiyas musawi adalah Suatu qiyas yang illatnya yang mewajibkan
hukum, atau mengqiyaskan sesuatu pada sesuatu yang keduanya bersamaan dalam
keputusan menerima hukum tersebut”. Contoh: menjual harta anak yatim diqiyaskan
dengan memakan harta anak yatim.
Ø Qiyas Syibh adalah qiyas yang fara’ dapat diqiyaskan kepada dua
ashal atau lebih, tetapi diambil ashal yang lebih banyak persamaannya dengan
fara’. Seperti hukum merusak budak dapat diqiyaskan kepada hukum merusak orang
merdeka, karena kedua-duanya adalah manusia.
Ø Qiyas al-Adna : “Mengqiyaskan sesuatu yang kurang kuat menerima hukum yang
diberikan pada sesuatu yang memang patut menerima hukum itu”. Contoh:
mengqiyaskan jual beli apel pada gandum merupakan riba fadhl.
iii.
Istishab
ü Definisi
Istishhab secara
bahasa adalah menyertakan, membawa serta dan tidak melepaskan sesuatu. Secara
terminologi adalah penetapan (keberlakukan) hukum terhadap suatu perkara di
masa selanjutnya atas dasar bahwa hukum itu telah berlaku sebelumnya, karena
tidak adanya suatu hal yang mengharuskan terjadinya perubahan (hukum tersebut)
atau penetapan hukum suatu perkara –baik itu berupa hukum ataupun benda- di
masa kini ataupun mendatang berdasarkan apa yang telah ditetapkan atau berlaku
sebelumnya.
ü Pembagian Istishab
1.
Istishhab hukum asal atas sesuatu saat tidak
ditemukan dalil lain yang menjelaskannya; yaitu mubah jika ia bermanfaat dan
haram jika ia membawa mudharat -dengan perbedaan pendapat yang masyhur di
kalangan para ulama tentangnya; yaitu apakah hukum asal sesuatu itu adalah
mubah atau haram-.
Salah satu contohnya adalah jenis makanan dan minuman yang tidak ditemukan dalil yang menjelaskan hukumnya dalam al-Qur’an dan al-Sunnah, atau dalil lainnya seperti ijma’ dan qiyas.
Salah satu contohnya adalah jenis makanan dan minuman yang tidak ditemukan dalil yang menjelaskan hukumnya dalam al-Qur’an dan al-Sunnah, atau dalil lainnya seperti ijma’ dan qiyas.
2.
Istishhab
al-Bara’ah al-Ashliyah, atau bahwa hukum asalnya seseorang itu terlepas dan
bebas dari beban dan tanggungan apapun, hingga datangnya dalil atau bukti yang
membebankan ia untuk melakukan atau mempertanggungjawabkan sesuatu. Sebagai
contoh misalnya adalah bahwa kita tidak diwajibkan untuk melakukan shalat
fardhu yang keenam dalam sehari semalam –setelah menunaikan shalat lima waktu-,
karena tidak adanya dalil yang membebankan hal itu.
3.
Istishhab
hukum yang ditetapkan oleh ijma’ pada saat berhadapan dengan masalah yang masih
diperselisihkan. Salah satu contohnya adalah bahwa para ulama telah berijma’
akan batalnya shalat seorang yang bertayammum karena tidak menemukan air saat
ia menemukan air sebelum shalatnya.
iv.
Istihsan
ü Definisi
Menurut
bahasa, istihsan berarti menganggap baik atau mencari yang baik. Menurut
ulama ushul fiqh, ialah meninggalkan hukum yang telah ditetapkan kepada
hukum yang lainnya, pada suatu peristiwa atau kejadian yang ditetapkan berdasar
dalil syara`.
Istihsan
adalah salah satu cara atau sumber dalam mengambil hukum Islam.
Berbeda dengan Al-Quran, Hadits, Ijma` dan Qiyas yang kedudukannya sudah
disepakati oleh para ulama sebagai sumber hukum Islam, istihsan adalah
salah satu metodologi yang digunakan hanya oleh sebagian ulama saja, tidak
semuanya.
ü Pembagian Istihsan
Ø Istihsan Qiyasi
Istihsan
Qiyasi adalah suatu bentuk pengalihan hukum dari ketentuan hukum yang
didasarkan kepada qiyas jali kepada ketentuan hukum uang didasarkan
kepada qiyas khafi, karena adanya alasan yang kuat untuk mengalihkan
hukum tesebut. Alasan kuat yang dimaksud adalah kemaslahatan.
Ø Istihsan Istisna’i
Istihsan
Istisna'i adalah qiyas dalam bentuk pengecualian dari ketentuan hukum yang
berdasarkan prinsip-prinsip khusus. Istihsan bentuk kedua ini dibagi menjadi
lima, yaitu: dengan nash, ijma', kedaruratan urf dan maslahah mursalah
v.
Urf
ü Definisi
‘Urf merupakan istilah Islam yang dimaknai sebagai adat kebiasaan. ‘Urf
terbagi menjadi Ucapan atau Perbuatan dilihat dari segi objeknya, menjadi Umum
atau Khusus dari segi cakupannya, menjadi Sah atau Rusak dari segi keabsahan
menurut syariat. Para ulama ushul fiqih bersepakat bahwa Adat (‘urf) yang sah
ialah yang tidak bertentangan dengan syari'at.
ü Pembagian Urf
a.
Al-‘Urf al-Lafzhi.
Adalah kebiasaan masyarakat dalam mempergunakan lafal/ungkapan tertentu dalam
mengungkapkan sesuatu, sehingga makna ungkapan itulah yang dipahami dan
terlintas dalam pikiran masyarakat.
b.
Al-‘urf al-‘amali.
Adalah kebiasaan masyarakat yang berkaitan dengan perbuatan biasa atau
mu’amalah keperdataan. Yang dimaksud “perbuatan biasa” adalah kebiasaan
masyrakat dalam masalah kehidupan mereka yang tidak terkait dengan kepentingan
orang lain, seperti kebiasaan libur kerja pada hari-hari tertentu dalam satu
minggu, kebiasaan masyarakat memakan makanan khusus atau meminum minuman
tertentu dan kebiasaan masyarakat dalam memakai pakain tertentu dalam
acara-acara khusus.
Adapun
yang berkaitan dengan mu’amalah perdata adalah kebiasaan masyrakat dalam
melakukan akad/transaksi dengan cara tertentu. Misalnya kebiasaan masyrakat
dalam berjual beli bahwa barang-barang yang dibeli itu diantarkan kerumah
pembeli oleh penjualnya, apabila barang yang dibeli itu berat dan besar,
seperti lemari es dan peralatan rumah tangga lainnya, tanpa dibebani biaya
tambahan.
vi.
Masalahah Mursalah
ü Definisi
Menurut
bahasa berarti mencari kemaslahatan ( yang mutlak) sedangkan menurut ahli ushul
fiqh adalah suatu kemaslahatan dimana Syari’ tidak mensyariatkan suatu hukum
untuk merealisir kemaslahatan itu, dan tidak ada dalil yang menunjukkan atas
pengakuannya atau pembatalannya atau menetapkan hukum suatu masalah yang tidak
ada nashnya atau tidak ada ijma’nya, dengan berdasar pada kemaslahatan semata (
yang oleh syara’tidak dijelaskan dibolehkan atau dilarang) atau bila juga
sebagi menberikan hukum syara’ kepada suatu kasus yang tidak ada dalam nas atau
ijma’ atas dasar memelihara kemaslahatan.
ü Pembagian Maslahah Mursalah
Ø Mashlahah al-Mu'tabarah, yaitu
kemaslahatan yang didukung oleh syara'. Maksudnya, adanya dalil khusus yang
menjadi dasar bentuk dan jenis kemaslahatan tersebut. Misalnya terkait alat
yang digunakan sebagai hukuman atas orang yang meminum minuman keras karena
hukuman bagi pencuri dengan keharusan mengembalikan barang curiannya, jika masih
utuh, atau mengganti dengan yang sama nilainya, apabila barang yang dicuri
telah habis.
Ø Mashlahah al-Mulghah, yaitu
kemaslahatan yang ditolak oleh syara', karena bertentangan dengan ketentuan
syara'. Misalnya, kemaslahatan harta riba untuk menambah kakayaan,
kemaslahatan minum khomr untuk menghilangkan stress, maslahah orang- orang
penakut yang tidak mau berjihad, dan sebagainya
Ø Mashlahah al-Mursalah, yaitu
kemaslahatan yang keberadaannya tidak didukung syara' dan tidak pula dibatalkan
atau ditolak syara' melalui dalil yang rinci. Contoh bagi maslahah ini
adalah yang telah dibincangkan oleh ulama’ ialah seperti membukukan al-Qur’an,
hukum qisas terhadap satu kumpulan yang membunuh seorang dan menulis buku-buku
agama.
IV.
Pembagian Hukum
a.
Hukum Taklifi
ü Definisi
Hukum
taklifi adalah tuntutan Allah yang berkaitan dengan perintah untuk mengerjakan
ataupun meninggalkan suatu perbuatan.
ü Pembagian hukum taklifi:
Ø Al-Ijab (Wajib) yaitu tuntutan pasti atau perintah untuk dikerjakan. Jika
seseorang meninggalkan tuntutan yang sudah pasti tersebut, dikenai sanksi atau
hukuman. Dalam Al-Qur’an banyak ditemukan ayat-ayat yang menyebutkan perintah
Allah di antaranya ditunjukkan dengan adanya tanda perintah atau dalam tata
bahasa Arab dikenal dengan fi’il amr. Contohnya pada ayat yang artinya, ” .
. . . dirikanlah salat dan tunaikanlah zakat . . . ” (Q.S. al-Baqarah [2]:
110). Dengan perintah itu, hukum salat dan zakat adalah wajib. Meskipun
demikian, kadang bentuk perintah juga berarti sunah
Ø An-Nadb
An-nadb adalah tuntutan untuk melaksanakan suatu perbuatan, tetapi tidak secara pasti atau harus. Jika seseorang meninggalkan tuntunan tersebut tidak mendapat dosa. Contohnya ayat berbunyi, ”. . . Apabila kamu bermuammalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan hendaklah kamu menuliskannya” (Q.S. al-Baqarah [2]: 282). Kata hendaklah atau utamanya menunjukkan tuntunan, meskipun bukan menjadi keharusan.
An-nadb adalah tuntutan untuk melaksanakan suatu perbuatan, tetapi tidak secara pasti atau harus. Jika seseorang meninggalkan tuntunan tersebut tidak mendapat dosa. Contohnya ayat berbunyi, ”. . . Apabila kamu bermuammalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan hendaklah kamu menuliskannya” (Q.S. al-Baqarah [2]: 282). Kata hendaklah atau utamanya menunjukkan tuntunan, meskipun bukan menjadi keharusan.
Ø Al-Ibahah
Al-ibahah adalah penetapan Allah yang mengandung kebolehan memilih antara melakukan atau meninggalkannya. Perbuatan yang boleh dipilih ini dikenal juga dengan mubah. Contohnya pada ayat al-Jumu’ah [62]: 10. Dalam ayat ini penjelasan carilah karunia Allah, misalnya dengan berdagang, hukumnya dibolehkan. Ciri-ciri lain yaitu menggunakan kalimat la-junaha, la- haraja, la-isma, dan lainnya yang berarti tidak dilarang atau tidaklah berdosa.
Al-ibahah adalah penetapan Allah yang mengandung kebolehan memilih antara melakukan atau meninggalkannya. Perbuatan yang boleh dipilih ini dikenal juga dengan mubah. Contohnya pada ayat al-Jumu’ah [62]: 10. Dalam ayat ini penjelasan carilah karunia Allah, misalnya dengan berdagang, hukumnya dibolehkan. Ciri-ciri lain yaitu menggunakan kalimat la-junaha, la- haraja, la-isma, dan lainnya yang berarti tidak dilarang atau tidaklah berdosa.
Ø Karahah
Karahah adalah tuntunan untuk meninggalkan suatu perbuatan, tetapi tidak bersifat pasti atau harus sehingga jika melaksanakannya tidaklah berdosa. Perbuatan tersebut disebut dengan makruh. Contohnya sabda Rasulullah dalam riwayat Abu Daud yang menjelaskan bahwa perbuatan halal yang paling dibenci oleh Allah adalah talak. Meskipun talak halal, tetapi dibenci oleh Allah sehingga hukumnya makruh.
Karahah adalah tuntunan untuk meninggalkan suatu perbuatan, tetapi tidak bersifat pasti atau harus sehingga jika melaksanakannya tidaklah berdosa. Perbuatan tersebut disebut dengan makruh. Contohnya sabda Rasulullah dalam riwayat Abu Daud yang menjelaskan bahwa perbuatan halal yang paling dibenci oleh Allah adalah talak. Meskipun talak halal, tetapi dibenci oleh Allah sehingga hukumnya makruh.
Ø Tahrim
Tuntunan atau perintah untuk tidak mengerjakan yang bersifat pasti. Tuntunan yang dilarang tersebut dikenal dengan istilah haram. Contohnya dalam ayat yang menjelaskan, ”. . . diharamkan bagimu bangkai, . . .” (Q.S. al- Ma’idah [5] ayat 3). Tahrim ditunjukkan dengan tanda-tanda kalimat yang bermakna pengharaman, seperti kata harramah urrima, atau la-yah illu, yang seluruhnya mengandung makna pengharaman atau tidak dihalalkan.
Tuntunan atau perintah untuk tidak mengerjakan yang bersifat pasti. Tuntunan yang dilarang tersebut dikenal dengan istilah haram. Contohnya dalam ayat yang menjelaskan, ”. . . diharamkan bagimu bangkai, . . .” (Q.S. al- Ma’idah [5] ayat 3). Tahrim ditunjukkan dengan tanda-tanda kalimat yang bermakna pengharaman, seperti kata harramah urrima, atau la-yah illu, yang seluruhnya mengandung makna pengharaman atau tidak dihalalkan.
b.
Hukum Wadh’i
ü Definisi
Hukum wad‘i yaitu
ketetapan Allah yang mengandung pengertian bahwa terjadinya suatu hukum adalah
karena adanya sebab, syarat, ataupun penghalang.
ü Ketentuan hukum wadh’i
a.
Sebab
Sesuatu yang mendasari adanya hukum. Dengan adanya sebab maka ada hukum. Contohnya terbitnya fajar menyebabkan wajibnya mengerjakan salat Subuh.
Sesuatu yang mendasari adanya hukum. Dengan adanya sebab maka ada hukum. Contohnya terbitnya fajar menyebabkan wajibnya mengerjakan salat Subuh.
b.
Syarat
Sesuatu yang berada di luar hukum, tetapi keberadaan hukum tergantung kepadanya. Akan tetapi, adanya syarat tidak mengharuskan adanya hukum perbuatan. Contohnya sebelum salat disyaratkan berwudu terlebih dahulu. Akan tetapi, orang yang berwudu tidak selalu harus mengerjakan salat.
Sesuatu yang berada di luar hukum, tetapi keberadaan hukum tergantung kepadanya. Akan tetapi, adanya syarat tidak mengharuskan adanya hukum perbuatan. Contohnya sebelum salat disyaratkan berwudu terlebih dahulu. Akan tetapi, orang yang berwudu tidak selalu harus mengerjakan salat.
c.
Penghalang
Keadaan yang dengan adanya penghalang ini, tidak menyebabkan adanya hukum. Contohnya perempuan yang sedang datang bulan menyebabkan tidak diwajibkannya mengerjakan salat.
Keadaan yang dengan adanya penghalang ini, tidak menyebabkan adanya hukum. Contohnya perempuan yang sedang datang bulan menyebabkan tidak diwajibkannya mengerjakan salat.
d.
Sah
Perbuatan hukum yang telah terpenuhi aturannya, seperti syarat, sebab, dan tidak adanya penghalang. Contohnya salat Subuh sah jika telah terbit fajar, dikerjakan setelah berwudu, dan tidak ada penghalang bagi yang mengerjakan.
Perbuatan hukum yang telah terpenuhi aturannya, seperti syarat, sebab, dan tidak adanya penghalang. Contohnya salat Subuh sah jika telah terbit fajar, dikerjakan setelah berwudu, dan tidak ada penghalang bagi yang mengerjakan.
e.
Batal
Terlepasnya hukum dari ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan. Contohnya bertransaksi jual beli secara riba. Jual beli tersebut dianggap batal karena mengandung fasad sehingga transaksinya pun dianggap tidak sah.
Terlepasnya hukum dari ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan. Contohnya bertransaksi jual beli secara riba. Jual beli tersebut dianggap batal karena mengandung fasad sehingga transaksinya pun dianggap tidak sah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar